Beranda | Artikel
Antara Ijtihad Dan Taqlid
Jumat, 7 Februari 2020

ANTARA IJTIHAD DAN TAQLID

Sudah kita maklumi, dalam beragama, kita wajib mengikuti apa yang telah diturunkan Allah kepada RasulNya. Yang semuanya, secara sempurna telah disampaikan dan dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Tidak ada sedikitpun yang tertinggal. Sehingga wajib bagi kita untuk mentaati Allah dan RasulNya, serta mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada keduanya. Dan kita harus berpaling dari apa yang menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, meskipun hal itu datang dari seorang imam mujtahid.

Dalam perkara agama, terdapat masalah masalah agama yang ditetapkan hukumnya dengan nash yang qath’i, baik tsubut dan dalalahnya, ada yang ditetapkan dengan ijma’ ulama; dan ada yang ditetapkan dengan nash yang tidak qath’i dalam tsubut atau dalalahnya, atau tidak ada nash dalam masalah tersebut, serta para ulama berbeda-beda pendapatnya.

Pada kelompok masalah pertama dan kelompok masalah kedua, persoalannya mudah. Semua orang wajib menerima dan mengikutinya, serta tidak boleh menyelisihinya, baik dia seorang ulama atau seorang awam.

Bagaimana bila tidak ada nash dalam suatu masalah dan para ulama berbeda pendapat? Apa yang harus dilakukan seseorang? Apakah dia harus berijtihad untuk mengetahui hukum masalah tersebut, ataukah bertaklid kepada ijtihad orang lain? Untuk bisa memahami persoalan ini, berikut ini kami angkat penjelasan mengenai ijtihad dan taklid, sehingga seorang muslim bisa menempatkan dirinya berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapinya. Apakah seseorang harus berijtihad ataukah bertaklid kepada suatu pendapat tertentu?

Makalah ini ditulis berdasarkan kitab Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzabiyyah, Muhammad Syakir Asy Syarif.

Semoga bermafaat.

IJTIHAD
Pengertian Ijtihad, menurut makna leksikal berarti mencurahkan semua kemampuan untuk menghasilkan perkara yang besar. Adapun menurut istilah, ijtihad ialah, mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Adapun seorang yang mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui hukum syar’i, disebut mujtahid.

Dengan demikian, seorang yang mengambil sebuah kitab, melihat kandungannya, dan menghukumi dengan hukum yang sesuai dengan kitab tersebut, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai mujtahid, karena dia hanya mengikuti penulis kitab. Adapun orang yang meruju‘ kepada kitab-kitab dan mengkajinya bersama ulama untuk merumuskan hukum dalam suatu masalah sehingga berhasil menyimpulkan suatu hukum tertentu, maka orang ini dinamakan mujtahid, karena telah mencurahkan semua kemampuan untuk mengetahuinya.

Syarat-Syarat Berijtihad
1. Mengetahui Dalil-Dalil Syar’i Yang Diperlukan Dalam Berijtihad.
Apabila seorang berijtihad dalam masalah ahkam (hukum-hukum), maka dia harus mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum. Sedangkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah aqidah, tidak harus diketahui karena hal itu tidak berkait dengan ijtihadnya.

2. Mengetahui Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Keshahihan Hadits Dan Kelemahannya.
Bila seseorang tidak mengetahui hal-hal yang berkait dengan keshahihan hadits dan kelemahannya, maka ia bukan seorang mujtahid. Sebab, bisa jadi, dia menetapkan hukum berdasarkan hadits dha’if dengan menolak hadits yang shahih. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus memiliki ilmu hadits dan rijalnya.

3. Mengetahui Nasikh Dan Mansukh Dan Perkara-Perkara Yang Sudah Disepakati Ulama.
Seorang mujtahid harus mengetahui nasikh dan mansukh. Karena, jika tidak mengetahuinya, maka terkadang dia menghukumi berdasarkan ayat atau hadits yang telah dimansukh. Padahal sudah dimaklumi, hadits yang telah dimansukh tidak boleh digunakan dalam penetapan hukum, karena kandungan hukumnya telah dihapus.

Demikian juga masalah-masalah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama, seorang mujtahid, harus mengetahuinya agar tidak menghukumi dengan sesuatu yang menyalahi ijma’. Oleh karena itu, sebagian ulama muhaqqiq, apabila mereka menyatakan suatu pendapat dan belum mengetahui keberadaan pendapat yang menyelisihinya, mereka menggantungkan penetapan hukumnya dengan “bila tidak ada ijma”. Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang masuk kategori ulama yang paling luas penguasaannya tentang khilaf, kadang-kadang dia mengatakan “pendapat ini benar, jika ada ulama yang mengatakannya”. Artinya, jika tidak ada orang yang mengatakannya, maka perkataan tersebut tertolak karena menyelisihi ijma’.

4. Mengetahui Substansi Dalil-Dalil, Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Hukum.
Seorang mujtahid harus mengetahui substansi yang tersimpan dalam dalil-dalil, yang mengakibatkan munculnya hukum yang berbedabeda, misalnya seperti takhshish (pengkhususan), taqyid (pembatasan), dan lain-lain. Sebab, kalau ia buta tentang itu, maka mungkin menghukumi dengan keumuman kandungan dalil, padahal ada dalil lain yang mengkhususkannya atau terpaku pada kemutlakan dalil, sementara terdapat dalil lain yang mentaqyidkannya.

Sebagai contoh, seseorang membaca hadits :

فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ

Di dalam panen yang diairi dengan air hujan zakatnya seper sepuluh”.[Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1412]

Di dalam hadits ini terdapat dua keumuman. Yaitu keumuman dalam ukurannya, dan keumuman dalam jenisnya. Ukurannya, mencakup ukuran sedikit dan banyak. Dan jenisnya, mencakup setiap jenis yang diairi oleh air hujan. Lalu dia memegangi hadits ini dan berkata “Zakat wajib dikeluarkan dari hasil panen yang keluar dari bumi dari jenis apa saja, dan dengan ukuran berapa saja”. Ini adalah keliru, karena dia harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan hukum yang berupa takhshish yang terdapat dalam dalil lain. Yang benar, dua keumuman tersebut ditakhshish oleh sabda Nabi “

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ

Tidak ada (kewajiban) shadaqah (zakat) dalam panenan yang kurang dari lima wasaq”. [Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 1541 dan Muslim no. 1541]

Dengan demikian, maka tidak wajib zakat kecuali jika hasil panenan bisa diukur dengan wasaq (nama takaran) dari jenis makanan, dan ukurannya sudah mencapai lima wasaq.

5. Mengetahui Dalalah Lafazh-Lafazh (Karakter Petunjuk Kata) Dalam Bahasa Arab Dan Ushul Fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui dalalah lafazh-lafazh, seperti ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan dan lain-lainnya. Dengan demikian, dia bisa menghukumi sesuai dengan dalalah-dalalah tersebut. Seseorang, apabila tidak mengetahui apa yang dinamakan ‘amm – misalnya– maka ia tidak tahu bahwa lafazh ini berarti umum atau khusus, sehingga tidak mungkin bisa beristimbat hukum secara benar. Karena bisa jadi, lafazh yang tidak umum dianggap umum, dan dia tidak mengetahuinya. Seperti itu juga pada dalalah lafazh-lafazh lainnya.

6. Memiliki Kemampuan Untuk Beristimbat Hukum Melalui Dalil-Dalilnya.
Pada hakikatnya, syarat ini adalah sebagai output (buah) dari syarat-syarat sebelumnya. Terkadang seseorang memiliki syarat-syarat di atas, tetapi tidak bisa beristimbat dan justru bertaqlid kepada orang lain. Dia berpendapat dengan pendapat yang dikatakan oleh orang lain. Maka seorang mujtahid, harus memiliki kemampuan untuk beristimbat (menarik kesimpulan) hukum dari dalil-dalilnya.

BOLEHKAH BERIJTIHAD DALAM SATU BAB ATAU SATU MASALAH SAJA?
Ijtihad itu terklasifikasi. Maksudnya, seseorang dapat melakukan ijtihad dalam sub pembahasan tertentu dalam suatu bab atau dalam masalah tertentu dari masalahmasalah ilmu, tetapi dia tidak dikatakan mujtahid pada selain bab atau masalah tersebut.

Contohnya, seseorang ingin meneliti masalah mengusap dua sepatu, lalu dia merujuk perkataan-perkataan ulama dan dalil-dalil, sehingga sampai bisa menguatkan pendapat yang rajih dan membantah pendapat yang lemah. Maka orang itu bisa dikatakan mujtahid, tapi dalam bab ini saja, bukan dalam bab lainnya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN MUJTAHID?
Seorang muqallid tidak perlu bersusah payah. Cukup baginya bertanya kepada seseorang atau mengambil sebuah kitab, lalu dia menghukumi dengan hukum yang ada di dalamnya. Tetapi seorang mujtahid harus mencurahkan semua kemampuannya untuk mengetahui kebenaran. Apabila dia telah mencurahkan semua kemampuannya dan merujuk dalil-dalil dan perkataan-perkatan ulama, lalu kebenaran nampak jelas baginya, maka wajib baginya untuk menghukumi dengan hukum maka dia mendapatkan satu pahala.[1]

Hadits ini secara tegas menjelaskan, jika seorang mujtahid salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, karena telah optimal dan bersungguhsungguh untuk mengetahui kebenaran, akan tetapi belum mandapatkan taufik sampai kepada kebenaran, maka dia mendapatkan pahala bersusah payah.

Sedangkan pahala dalam menepati kebenaran, maka dia tidak mendapatkannya, lantaran hasil ijtihadnya belum bersesuaian dengan kebenaran. Adapun apabila dia berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Pahala yang pertama, karena bersusah payah dalam ijtihad dan mencari dalil. Sedangkan pahala kedua, karena mencocoki kebenaran, yang berarti menampakkan kebenaran.

Apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan-perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka dia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaklid karena terpaksa (darurat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al-Anbiya/21:7].

TAQLID
Pengertian para ulama hampir sepakat dalam mendefisikan taqlid. Yaitu, menerima perkataan orang lain tanpa hujah. Berdasarkan pengertian ini, orang yang mengambil perkataan orang tanpa dasar hujjah, maka dia muqallid. Sedangkan orang yang mengambil perkataan orang lain dengan dasar hujjah, maka dia bukan muqallid.

Kemudian hujjah itu berbeda-beda antara satu orang dengan lainnya. Bagi seorang mujtahid atau orang yang belum sampai tingkatan ijtihad, tetapi dia bisa memahami dalil dan mentarjih dengan cara yang benar, maka hujjah baginya adalah dalil khusus; dan dia tidak boleh menerima perkataan orang, kecuali dengan dalil khusus yang membenarkannya. Adapun bagi orang yang awam tidak bisa memahami makna-makna nash (dalil), maka hujjah baginya adalah dalil umum, yaitu kembali kepada ahlul ilmi yang menguasai Al-Kitab dan Sunnah.

Hanya saja, ada sebagian ulama yang mendefinisikan taqlid dengan pengertian lain. Yaitu, menerima perkataan orang dan kamu tidak mengetahui dari mana orang itu mengatakannya (mengambilnya). Jadi, orang yang mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalil khusus yang membenarkannya, disebut muqallid, meskipun dia mengambilnya berdasarkan hujjah dalil umum.

Kalau yang dimaksudkan oleh pengertian yang kedua itu adalah taqlid yang tercela, maka pengertian ini tidak benar, sebab tanpa mengetahui dalil khusus yang menunjukkan perkataan tersebut tidaklah tercela. Tetapi jika yang dimaksudkan taqlid itu ada dua macam, yaitu tersebut. Jika dia benar dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia salah dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala, dan kesalahannya diampuni. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر

Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia menghukumi lalu berijtihad dan salah, maka dia mendapatkan satu pahala

Taqlid yang tercela sebagaimana pada pengertian yang pertama, dan tidak tercela sebagaimana pada pengertian yang kedua, maka pengertian tersebut dapat diterima.

Disamping itu, sebagian ulama yang mendefinisikan taqlid dengan pengertian pertama, menamakan taqlid pada macam yang kedua. Padahal sebaiknya, jenis taqlid ini diberi nama tersendiri yang membedakannya dengan taqlid yang tercela, sehingga tidak terjadi campur-aduk dalam penggunaan istilah.

Ada juga ulama yang tetap mencela taqlid secara umum, dan memberikan nama pada jenis yang kedua dengan nama yang berbeda.

Abu Abdullah bin Khuwaiz Mandad Al Bashri Al Maliki dalam menjelaskan hal itu mengatakan : “Setiap yang kamu ikuti perkataanya tanpa wajib bagimu untuk mengikutinya, karena adanya suatu dalil, maka berarti kamu bertaqlid kepadanya. Taqlid dalam agama Allah tidak benar. Dan setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk menerima perkataanya, maka berarti kamu berittiba’ kepadanya. Ittiba`di dalam agama itu benar, dan taqlid dilarang.

Dalam hal ini Asy Syaukani mengatakan: “…Persoalannya tidak seperti yang mereka sebutkan, karena di sana masih ada perantara lain di antara ijtihad dan taqlid, yaitu bertanyanya orang yang jahil kepada orang ‘alim (berilmu) tentang masalah agama yang dihadapinya, bukan dari semata-mata pendapatnya dan ijtihadnya”.

Sedangkan Ibnu Hazm menamakan bertanyanya orang jahil kepada orang ‘alim dengan nama ijtihad. Dia mengatakan: “Dan ijtihadnya orang awam, (yaitu) apabila dia bertanya kepada orang ‘alim tentang urusan-urusan agamanya”.

KAPAN SESEORANG BERTAQLID?
Taqlid bisa dilakukan oleh seseorang karena adanya salah satu di antara dua keadaan.

Pertama. Orang awam yang tidak bisa mengetahui hukum dengan dirinya sendiri. Maka dia wajib bertaqlid dengan bertanya kepada ulama. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [Al-Anbiya/21:7]

Orang awam seperti ini dianjurkan untuk memilih orang yang lebih utama keilmuannya dan kewara’annya. Kalau menurutnya ada dua orang yang sama dalam keilmuan dan kewara’annya, maka dia boleh memilih di antara keduanya.

Sebagai contoh, ada seorang awam mendengarkan seorang alim mengatakan “perhiasan itu wajib dizakati”. Kemudian ia juga mendengar ada seorang alim lainnya mengatakan “perhiasan itu tidak ada zakatnya”. Di sini, dia dihadapkan kepada dua pendapat. Maka dia boleh memilih salah satunya, tetapi hendaknya bertaqlid kepada yang lebih dekat kepada kebenaran karena keilmuan dan kewara`annya.

Kedua. Seorang mujtahid yang menghadapi persoalan yang harus segera dijawab, tetapi ia tidak memiliki kelonggaran waktu untuk berijtihad. Ia juga tidak mungkin merujuk kitab-kitab, dalil-dalil ataupun menelaah perkataan-perkataan ulama, maka dia boleh bertaqlid.

Syaikh Utsaimin mencontohkan, apabila beliau tidak mampu mengetahui hukum suatu masalah dan hal itu melelahkannya. Maka biasanya beliau bertaqlid kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut Syaikh Utsaimin, perkataan Syaikhul Islam lebih dekat kepada kebenaran dari pada ulama lain. Tetapi dalam hal ini, bukan berarti tidak boleh bertaqlid kepada yang lain, karena pendapat yang rajih ialah, apabila ada dua orang ‘alim, salah satunya lebih utama dari pada yang lain, maka tidak mesti wajib bertaqlid kepada yang lebih utama, tapi boleh juga bertaqlid kepada yang tingkatannya di bawahnya.

MACAM-MACAM TAQLID
1. Taqlid Umum.
Yaitu berpegang kepada madzhab tertentu, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya dalam semua perkara-perkara agamanya. Sebagai contoh, seseorang bermadzhab Hambali. Dia berpegang kepada madzhab ini dan mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya. Azimah ialah, masalah-masalah yang wajib atau haram. Dan rukhshah ialah, masalah selain itu.

Misalnya, dia mengatakan “Saya seorang Hambali (pengikut madzhab Hambali), dan saya akan mengikuti madzhab Hambali di dalam semua hal”. Seperti itu juga yang dilakukan oleh orang bermadzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, atau lainnya. Itulah yang dinamakan dengan taqlid umum. Yaitu seseorang bertaqlid kepada madzhab, mengambil rukhshah-rukhshah dan azimah-azimahnya, serta tidak melihat kepada madzhab-madzhab lain atau kepada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentang taqlid ini, para ulama berbeda pendapat. Di antara para ulama ada yang mewajibkannya, karena pintu ijtihad telah ditutup untuk mutaakhirin. Ini adalah pendapat yang sangat batil, karena mengharuskan makna-makna Kitab dan Sunnah telah terkunci rapat. Padahal Al Qur‘an dan Sunnah merupakan petunjuk dan penjelasan bagi manusia sejak terutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai datangnya hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: Sungguh aku tinggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan sesat sesudahku, yaitu Kitab Allah.[2]

Dan di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena berpegang teguh secara mutlak dalam mengikuti (ittiba) kepada selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Sesungguhnya pada pendapat yang mengatakan wajib, terdapat ketaatan kepada selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perintah dan larangan. Hal itu menyelisihi ‘ijma. Dan diperbolehkannya terdapat hal yang sama”.

2. Taqlid Khusus.
Yaitu mengambil perkataan tertentu dalam persoalan tertentu. Syaikh Utsaimin menjelaskan perihal taqlid khusus ini dengan mencontohkan tentang dirinya. Beliau bertaqlid kepada Imam Ahmad dalam masalah yang dalilnya tidak jelas baginya. Umpamanya ada suatu permasalahan dan waktunya sempit, sehingga beliau tidak mungkin meneliti masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kemudian beliau memutuskan untuk bertaqlid kepada Imam Ahmad dalam masalah ini secara khusus.

Taqlid khusus ini diperbolehkan, apabila seseorang tidak mampu mengetahui kebenaran dengan berijtihad, baik karena benar-benar tidak mampu, atau mampu tetapi sangat berat melakukannya.

PENUTUP
Dari pemaparan uraian ini, kita bisa mengetahui, bahwa itjihad merupakan perkara yang memiliki konsekwensi. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, karena untuk bisa berijtihad, seseorang harus memiliki dan menguasi seperangkat ilmu pendukungnya. Begitu pula bagi seorang alim yang memiliki kemampuan, namun manakala telah berijtihad dan mengkaji dalil-dalil dan perkataan ulama, tetapi kebenaran tidak nampak jelas baginya, maka ia wajib tawaquf (tidak mengambil sikap) dan jangan menghukumi dengan ijtihadnya. Dalam keadaan seperti ini, dia diperbolehkan bertaqlid karena terpaksa (darurat). Terlebih lagi dengan diri kita sebagai orang awam, atau orang yang baru mempelajari masalah agama, tentu tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.

Dalam masalah taqlid, terbagi menjadi dua macam, yang terpuji dan tercela. Taqlid yang terpuji ialah, mengambil perkataan orang lain dengan hujjah. Taqlid terpuji juga mempunyai nama lain, yaitu : ittiba’, su‘alul ‘alim (bertanya kepada ulama), dan ijtihad orang awam. Adapun taqlid yang tercela ialah, mengambil perkataan orang lain tanpa hujjah. Tentu di dalam berijtihad ataupun bertaqlid, seseorang harus menimbangnya berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallaam dan Ijma’. (Ustadz Azhar Robani)

Maraji‘ :
1. Syarhul Ushul Min Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit Al Mktabah At Taufiqiyah, Al Qahirah – Mesir.
2. Ad Durrat Al Bahiyyah Fi At Taqlid Al Madzhabiyyah , Muhammad Syakir Asy Syarif, cet. I th 1408 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Shahih diriwayatkan oleh Bukhari no. 6919 dan Muslim no. 1716
[2] Shahih diriwayatkan oleh Muslim no. 1218


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14238-antara-ijtihad-dan-taqlid.html